Isu kesehatan global kini tak bisa dipisahkan dari kondisi alam. Semakin masifnya kerusakan habitat dan krisis iklim telah mempercepat kemunculan penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia, atau dikenal sebagai zoonosis. Hubungan erat antara Zoonosis dan Lingkungan ini menggarisbawahi pentingnya pendekatan kesehatan terpadu (One Health), yang menyatukan kesehatan manusia, hewan, dan ekosistem. Memahami dinamika Zoonosis dan Lingkungan adalah kunci untuk mencegah pandemi berikutnya. Data global menunjukkan bahwa lebih dari 60% penyakit infeksi baru (emerging infectious diseases) yang muncul pada manusia berasal dari satwa liar, membuktikan bahwa keseimbangan alam adalah benteng terakhir pertahanan kita.
Perubahan ekosistem, terutama deforestasi dan alih fungsi lahan, menjadi pendorong utama peningkatan risiko zoonosis. Ketika hutan dibuka secara masif untuk perkebunan, pertambangan, atau permukiman, habitat asli satwa liar terfragmentasi. Akibatnya, hewan-hewan liar—yang sering menjadi reservoir alami bagi virus atau bakteri—dipaksa berpindah dan berinteraksi lebih dekat dengan manusia dan hewan ternak. Sebagai contoh spesifik, dalam penelitian di Indonesia, tercatat bahwa konversi hutan di Kalimantan dan Sumatera menjadi lahan tambang dan perkebunan kelapa sawit pada tahun 2024 diikuti oleh lonjakan kasus malaria monyet (Plasmodium knowlesi), yang melibatkan pergeseran perilaku vektor nyamuk dan primata. Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan meningkatkan frekuensi kontak interspesies, membuka “jalan tol” bagi patogen.
Faktor lain yang memperparah hubungan Zoonosis dan Lingkungan adalah perubahan iklim. Kenaikan suhu global dan perubahan pola curah hujan memengaruhi ekologi vektor penyakit, seperti nyamuk dan kutu. Kondisi yang lebih hangat dan lembap memperluas jangkauan geografis nyamuk pembawa penyakit seperti Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Malaria, memungkinkannya bermigrasi ke daerah yang sebelumnya terlalu dingin. Selain itu, peningkatan suhu juga mempercepat laju replikasi virus di dalam tubuh vektor. Sebuah laporan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada September 2025 menegaskan bahwa perubahan iklim telah secara nyata memengaruhi ekologi vektor penyakit zoonosis di Indonesia.
Untuk mengatasi ancaman yang ditimbulkan oleh Zoonosis dan Lingkungan, diperlukan tindakan preventif yang terkoordinasi. Pendekatan One Health harus diintegrasikan secara penuh ke dalam kebijakan pembangunan, terutama dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Hal ini penting untuk memastikan bahwa setiap proyek pembangunan mempertimbangkan dampak kesehatan, baik bagi manusia maupun hewan. Selain itu, investasi dalam pengawasan penyakit satwa liar dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya perburuan ilegal dan perdagangan satwa liar harus menjadi prioritas. Langkah ini bertujuan untuk membangun sistem kesehatan yang tangguh, mampu mendeteksi dan merespons ancaman penyakit baru sebelum berubah menjadi pandemi global.