El Niño dan La Niña adalah dua anomali iklim ekstrem yang merupakan bagian dari siklus El Niño-Southern Oscillation (ENSO), yang secara signifikan memengaruhi pola cuaca dan iklim di seluruh dunia. Bagi negara tropis seperti Indonesia, fluktuasi suhu permukaan laut di Samudra Pasifik tropis ini membawa konsekuensi serius, mulai dari kekeringan ekstrem hingga banjir besar. Dalam konteks pendidikan modern, penting bagi masyarakat dan khususnya siswa untuk Memahami Perubahan Iklim ini bukan sekadar sebagai teori, melainkan sebagai realitas yang membutuhkan adaptasi. Oleh karena itu, diperlukan Model Pembelajaran Aktif yang memungkinkan siswa mengamati, menganalisis, dan merumuskan strategi mitigasi terhadap dampak fenomena ini.
Mengenal Si Kembar Iklim Melalui Data Real-Time
El Niño, yang diidentifikasi oleh pemanasan suhu permukaan laut di Pasifik Tengah dan Timur, secara historis terkait dengan penurunan curah hujan yang drastis di sebagian besar wilayah Indonesia, memicu musim kemarau yang panjang. Sebaliknya, La Niña ditandai dengan pendinginan suhu permukaan laut, yang mendorong peningkatan curah hujan dan potensi bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor. Sebagai contoh, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), pada konferensi pers yang diadakan hari Rabu, 17 Oktober 2025, secara resmi mengumumkan status La Niña yang masih berada di fase netral namun berpotensi menguat di akhir tahun.
Untuk Memahami Perubahan Iklim secara aktif, siswa dapat dilibatkan dalam kegiatan analisis data. Di kelas Geografi atau Fisika, siswa diajarkan cara mengakses dan menafsirkan data Sea Surface Temperature (SST) dari BMKG atau NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) secara berkala. Kegiatan ini, yang dilakukan setiap hari Jumat minggu pertama setiap bulan, mengubah siswa dari penerima informasi pasif menjadi analis data iklim. Mereka belajar bagaimana anomali SST sebesar $\pm 0.5$ derajat Celsius dari kondisi normal dapat menentukan apakah Bumi berada dalam fase El Niño, La Niña, atau netral.
Dampak Nyata dan Kebutuhan Adaptasi Sektoral
Dampak El Niño dan La Niña tidak terbatas pada intensitas hujan, tetapi merambah ke berbagai sektor vital. Periode El Niño yang terjadi pada pertengahan tahun 2023, misalnya, menyebabkan kekeringan parah yang berdampak pada gagal panen di sektor pertanian dan kebakaran hutan serta lahan (Karhutla) di beberapa pulau. Berdasarkan laporan Satuan Tugas (Satgas) Karhutla, selama periode 1 September hingga 30 November 2023, tercatat peningkatan kasus Karhutla sebesar $40\%$ dibandingkan tahun sebelumnya, yang membutuhkan intervensi aparat gabungan seperti TNI dan Polri.
Sementara itu, La Niña meningkatkan risiko banjir bandang. Peningkatan curah hujan telah terbukti mengancam ketahanan pangan dan kesehatan masyarakat, dengan potensi lonjakan kasus penyakit yang ditularkan melalui air seperti Demam Berdarah Dengue (DBD) dan kolera. Oleh karena itu, pembelajaran aktif perlu diperluas ke studi kasus adaptasi. Misalnya, siswa ditugaskan untuk merancang model water harvesting atau teknik konservasi air yang cerdas, atau membuat peta risiko bencana berbasis data curah hujan. Ini adalah Model Pembelajaran Aktif yang tidak hanya mengasah kemampuan akademik tetapi juga menumbuhkan empati dan kesadaran lingkungan.
Melalui pendekatan ini, generasi muda menjadi terliterasi dan siap menghadapi tantangan iklim di masa depan. Model Pembelajaran Aktif ini adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang tanggap dan berdaya dalam menghadapi dinamika iklim global yang kian tak menentu.